Selasa, 27 Agustus 2013

Meta Model, Keajaiban Pertanyaan

People respond to their internal map, not to the reality itself. Tanpa sebuah klarifikasi, sebuah komunikasi hanya akan memunculkan kesalahpahaman dan perseteruan karena setiap orang hakikatnya tidak sedang berkomunikasi satu sama lain, melainkan berkomunikasi dengan ’internal map’ mereka masing-masing.

The meaning of the communication is the response you get.
Makna dari komunikasi adalah respon yang Anda peroleh.

Makna utama dari sebuah komunikasi adalah respon yang ingin kita dapatkan. Apabila respon yang diberikan oleh partner bicara kita bertolak belakang dengan respon yang ingin kita dapatkan maka hal itu berarti bahwa cara berkomunikasi kita tidak tepat untuk mendapatkan respon yang diinginkan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kepekaan indrawi untuk mengetahui apakah komunikasi yang kita lakukan tersebut sudah sesuai atau belum. Apabila belum, maka diperlukan adanya suatu fleksibilitas sampai memperoleh respon yang diinginkan dengan cara merubah cara komunikasi kita.

Apa yang muncul dalam benak Anda jika saya berkata, “Kemarin adalah hari yang indah”?

Bayangan pengalaman menyenangkan yang pernah Anda alami dan Anda anggap indah? Imajinasi suatu hari Anda bersama seseorang yang Anda merasa akan indah? Ucapan seorang kawan yang pernah mengatakan hal yang sama kepada Anda? Pengalaman Anda memakan makanan favorit yang sudah lama sekali Anda inginkan dan akhirnya kesampaian? Sebuah tempat yang pernah Anda kunjungi dan masih teringat-ingat sampai sekarang?

Wow! Sebuah kemungkinan jawaban yang tak terbatas, bukan? Hanya dengan bermodalkan sebuah kalimat sederhana, saya berhasil mengajak Anda untuk berkeliling sejenak ke dalam lautan ingatan yang Anda miliki sejauh umur Anda hingga saat ini. Tidakkah ini luar biasa?

Well, inilah keajaiban pikiran manusia, sekaligus keajaiban bahasa sebagai sebuah kode yang hampir tidak pernah kita lepaskan dalam kehidupan kita sehari-hari. Menggunakan istilah linguistik, ia adalah proses transderivational search atau biasa disingkat sebagai TDS alias sebuah proses pencarian ke ’dalam’ akibat sebuah stimulus yang diberikan kepada pikiran kita. Dengan kata lain, we cannot NOT communicate sebab pikiran kita secara otomatis akan merespon dengan mencari ingatan yang sesuai setiap kali sebuah stimulus datang menghampiri.

Sisi lain, sebuah keajaiban ternyata juga memiliki sisi gelap sebagai sebuah kutukan pula.

Loh, kok bisa?

Tentu bisa, karena dalam proses TDS, otak kita secara refleks akan mencari hal-hal yang paling mudah untuk ditemukan alih-alih berpikir secara logis mencari hal-hal yang paling sesuai maknanya dengan stimulus yang datang.

Tengok saja kembali kalimat di atas. Anda yang sedang jatuh cinta tentu akan begitu mudah memunculkan ingatan tentang sebuah hari yang indah ketika Anda sedang bersama sang kekasih, bukan? Lain lagi bagi Anda yang sedang senang-senangnya karena baru saja mendapat promosi jabatan. Hari yang indah bagi Anda jelas adalah hari ketika Anda menerima pengumuman promosi itu, yang hingga sekarang masih terasa baru kemarin terjadi.

Nah, menjadi kutukan ketika TDS ini terjadi pada saat seperti ini:

Seorang pelanggan menelepon Anda dan berkata dengan kesal, ”Ah, akhirnya diangkat juga. Kenapa sih kalau saya telepon selalu tidak diangkat?”
Atau, pasangan Anda mengatakan, ”Kamu selalu terlambat. Kamu sudah tidak sayang lagi ya?”

Nah lo. Apa yang biasanya muncul dalam benak Anda jika mendengar yang seperti ini? Kebingungan? Kecemasan? Rasa kesal? Campur aduk? Dan bagaimana Anda akan merespon? Marah dan membentak balik? Mengaku bersalah dan menjadi terdakwa?

Di sinilah teknik NLP yang bernama Meta Model menjadi penting untuk dikuasai. Bahkan, setelah menemukan berbagai model untuk berbagai keperluan, Richard Bandler mengatakan bahwa Meta Model adalah modul terpenting dalam NLP. Meskipun saya belum sempat berdiskusi langsung dengan Bandler mengenai hal ini, saya merasa menemukan alasan ia mengatakan demikian.

Meta Model is a Magic!

Pertama kali mempelajari Meta Model, saya tidak terlalu terkesima dengannya. ”Hanya teknik klarifikasi, apa istimewanya?” Demikian sebuah pertanyaan yang pernah terlontar dalam hati ketika saya baru saja mempelajarinya. Namun, seiring dengan meningkatnya pelajaran NLP saya, ternyata saya salah besar! Yap, Meta Model adalah magic, seperti judul buku yang pertama kali membahas tentangnya, The Structure of Magic.

Bagaimana mungkin?

Jawabannya amat berkait dengan fenomena TDS tadi. Sebuah stimulus, seperti apapun bentuknya, akan tetap memiliki efek untuk memicu pikiran kita mencari ingatan yang sesuai dengannya. Masalahnya, kita seringkali berperilaku berdasarkan respon terhadap ingatan yang ditemukan itu. Padahal, ingatan tersebut belum tentu tepat sama dengan apa yang dimaksudkan oleh lawan bicara kita.

Tidak percaya? Nih, saya tes lagi. Apa yang muncul jika saya berkata, ”Rumah saya adalah tempat yang amat nyaman untuk ditinggali”?

Meskipun Anda belum pernah berkunjung ke rumah saya, saya yakin pikiran Anda tetap akan memunculkan sebuah rumah yang nyaman untuk ditinggali. Nah, masalahnya, rumah siapa kah itu? Tanpa klarifikasi, kita pun mengobrol lebih lanjut tentang ’rumah’ tersebut dan berujung pada debat kusir tentang ’rumah yang nyaman’.

Apa pasal? People respond to their internal map, not to the reality itself. Tanpa sebuah klarifikasi, sebuah komunikasi hanya akan memunculkan kesalahpahaman dan perseteruan karena setiap orang hakikatnya tidak sedang berkomunikasi satu sama lain, melainkan berkomunikasi dengan ’internal map’ mereka masing-masing.

Perhatikan obrolan berikut ini :
Hai! Gimana kemarin dari Jogja?
Wah, Jogja sekarang udah kayak Jakarta, lho.
Hah, kok bisa gitu ya? Emang anak jaman sekarang ya. Gampang banget ikut-ikutan. Kebanyakan liat TV sih, sinetron isinya anak Jakarta melulu.
Iya ya. Aku juga bingung tuh. Yang namanya kota pelajar kok sekarang jadi kayak gitu.
Nah, itulah. Sekarang tuh semua udah pada berubah. Nggak seperti jaman kita dulu. Kita dulu mah nurut-nurut sama orang tua. Tapi sekarang, walah, susah diatur tuh anak-anak.
Dan obrolan pun berlanjut menjadi gosip. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Dari Jogja sampai sinetron. Dari sinetron sampai anak-anak. Dari anak-anak sampai artis. Dari artis sampai politik. Dari senang sampai pada sakit hati, karena salah pengertian. Dan seterusnya.

Inilah model komunikasi yang secara alamiah kita lakukan setiap hari. Komunikasi yang miskin detil dan membiarkan lawan bicara menggunakan ’map’-nya masing-masing untuk membuat penafsiran sendiri. Alhasil: Forum Diskusi Utara Selatan, alias ngobrol ngalor ngidul, yang tak jarang berujung pada debat kusir.

So, apa yang bisa kita lakukan dengan ini? Mari kita bahas perlahan-lahan ya.

Meta Model dikembangkan pertama kali berdasarkan pada Transformational Grammar (TG) yang dikembangkan oleh Noam Chomsky. Meskipun demikian, Meta Model sama sekali tidak menginduk pada teori linguistik yang sekarang tidak lagi populer ini, melainkan hanya menggunakan beberapa istilahnya saja.

Menurut TG, komunikasi yang kita keluarkan melalui kata-kata hakikatnya hanyalah sebuah surface structure alias permukaannya saja dari deep structure alias maksud asli yang kita sampaikan. Ibarat bakpau, kita seringkali tidak tahu apakah ia berisi daging atau kacang hijau hanya jika melihat dari bentuk bulatnya dari luar saja. Jika kita tidak pandai-pandai mencermati tanda-tanda perbedaan isi atau bertanya langsung pada penjualnya, tentu kita akan kecewa karena mendapatkan isi yang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Loh, kok bisa ada perbedaan antara maksud dan kata-kata begini?
Inilah keajaiban otak kita. Demi menjadikan hidup kita mudah, otak kita seringkali Memangkas (Deletion) kata-kata yang kita anggap kurang perlu, Menyamaratakan (Generalization) beberapa hal agar lebih mudah dikaitkan dan dipahami, dan Mengaburkan hubungan (Distortion) antara satu hal dengan hal lain agar kita dapat melihat-mendengar-merasa dengan lebih efektif.

Itu sisi positifnya. Sisi negatifnya, deletion, generalization, dan distortion dapat mengaburkan pemahaman kita akan apa yang disampaikan oleh orang lain. Alhasil, secara otomatis, kita menggunakan ’map’ kita sendiri untuk memahaminya.

Nah, melakukan Meta Model hakikatnya adalah usaha kita untuk memahami deep structure seseorang dengan membedah hal-hal yang ia delete, generalize, dan distort. Ini pulalah yang menjadikan Meta Model sebuah teknik yang amat penting ketika kita melakukan modeling, sebab sang model seringkali tidak memahami bagaimana persisnya ia melakukan sesuatu (deep structure) dan karenanya hanya mengatakan hal-hal yang sangat superfisial (surface structure).

Lalu, bagaimana persisnya kita melakukan Meta Model?
Paling mudah, kita mulai dari memahami model-model kalimat yang melanggarnya.

Distortion

Nominalization. Sesuai dengan namanya, nominalisasi adalah kecenderungan kita untuk membuat sebuah proses menjadi seolah-olah benda mati (nomina).

Contoh:
Hubungan kami semakin lama semakin memburuk.

Secara linguistik, kata ’hubungan’ dalam kalimat di atas memiliki fungsi sebagai kata benda (noun). Namun benarkah demikian? Jika ia adalah benda, bisakah kita lihat atau pegang? Tentu tidak, sebab ‘hubungan’ sebenarnya adalah sebuah proses dan bukan benda mati. Di dalamnya terdapat proses komunikasi yang timbal balik yang kompleks dan dinamis. Menjadikan proses sebagai ’benda’ akan membuat kita merasa mentok dan berpikir seolah-olah ia sulit bahkan tidak mungkin diubah.

Untuk mengatasi nominalisasi, kita bisa melakukan Meta Model dengan bertanya menggunakan formula:

Apa persisnya yang kamu maksud dengan hubungan itu? Bagaimana persisnya kamu menjalani hubungan itu?

Bertanya demikian akan membuat kita keluar dari unconscious untuk kemudian secara sadar mengevaluasi kembali proses yang sebenarnya terjadi.

Mind Reading. Dalam mind reading, kita berkata seolah-olah kita bisa membaca apa yang orang lain pikirkan atau rasakan.

Contoh: Saya tahu kalau dia tidak suka sama saya.
Tanpa Meta Model, pernyataan di atas sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya ada dalam pikiran dan perasaan orang lain, melainkan hanya mencerminkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan kita sendiri.

Untuk mengatasinya, kita Meta Model dengan bertanya:
Bagaimana persisnya kamu tahu kalau dia tidak suka sama kamu?

Ditanya seperti ini, kita akan secara refleks menjadi sadar sepenuhnya dan mengambil jarak dari bauran pikiran dan perasaan kita.

Cause-Effect, adalah keadaan ketika kita menciptakan hubungan sebab akibat yang tidak logis antara suatu kejadian dengan kondisi di dalam diri kita.

Contoh:
Kamu membuat saya marah!

Kalimat seperti ini akan membuat kita merasa bahwa pikiran dan emosi kita dikuasai oleh orang lain dan karenanya menjadikan kita pasrah terhadap keadaan.

Untuk mengatasi cause-effect, kita bisa bertanya:
Bagaimana persisnya aku membuatmu marah? Apa persisnya yang kulakukan sehingga menimbulkan perasaan marah dalam dirimu?

Respon seperti akan mengajak lawan bicara kita untuk memperluas kerangka berpikir mereka sekaligus memberdayakannya guna bertanggung jawab terhadap pikiran, perasaan, dan respon mereka sendiri. Meminjam istilah Stephen R. Covey, kita mengajak lawan bicara kita untuk menjadi lebih proaktif alih-alih reaktif.

Complex Equivalence. Secara harfiah, pelanggaran Meta Model ini bisa diterjemahkan sebagai ’penyamaan yang rumit’. Hmm, saya tidak terlalu puas dengan terjemahan ini, namun saya yakin Anda bisa memahami maksudnya. Dalam complx equivalence, kita memberi makna suatu hal dengan hal lain yang tidak secara logis berhubungan

Contoh:
Wajahnya tampak memerah. Dia pasti sedang marah.
Kamu datang terlambat. Kamu tidak peduli dengan saya.

Secara lebih terstruktur, kalimat di atas bisa dituliskan dengan rumus sebagai berikut:
Wajah memerah = marah
Datang terlambat = tidak peduli
Benarkah demikian? Apakah pasti seseorang yang wajahnya memerah pasti sedang marah? Apakah pasti pula datang terlambat berarti ketidakpedulian? Tentu tidak, bukan?

Menghadapi model seperti ini, kita bisa melakukan Meta Model dengan bertanya:
Bagaimana persisnya datang terlambat bisa berarti tidak peduli?
Adakah orang yang wajahnya memerah tapi tidak sedang marah?
Pertanyaan seperti ini akan menggiring kita untuk memperluas khasanah pemikiran kita akan makna dari suatu kejadian.

Presuppositions. Masih ingat presuposisi NLP?
 Nah, tanpa disadari, kita pun seringkali menyimpan dan menggunakan presuposisi dalam berkomunikasi. Presuposisi, karena sifatnya yang tersirat, tidak pernah tampak secara eksplisit dalam kalimat yang kita ucapkan. Bahkan, kita baru bisa menyadarinya hanya ketika kita mengambil jarak dengan kalimat-kalimat yang kita lontarkan.

Contoh:
Bisa nggak sih kamu melakukan pekerjaan ini dengan lebih teliti?
Seandainya kamu berada di posisiku, pasti kamu bisa merasakan sakitnya.

Apa pesan yang tersirat dari kalimat di atas? Yak, tepat! Meskipun tidak terucap, sang pengucap seolah ingin mengatakan bahwa lawan bicaranya tidak melakukan pekerjaan tersebut dengan teliti. Bagaimana dengan kalimat kedua? Aha, betul! Sang pengucap seakan mengatakan bahwa lawan bicaranya tentu tidak bisa merasakan sakit yang ia rasakan.

Sekilas, presuposisi memiliki kemiripan dengan Mind Reading. Bedanya, tidak ada kata-kata yang secara eksplisit keluar dari si pengucap bahwa ”Aku tahu….”.

Mengatasi presuposisi, kita bisa bertanya:
Apa yang membuat Anda berpikir bahwa saya tidak mengerjakannya dengan teliti? Apa persisnya standar teliti yang Anda harapkan?
Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku tidak bisa merasakan sakit yang kamu rasakan?

Generalization
Universal Quantifiers. Ketika kita secara refleks menggunakan ’pelanggaran’ Meta Model ini, kita melakukan penyamarataan atas suatu hal secara berlebihan. Dengan kata lain, satu, dua, atau beberapa pengalaman kita jadikan label untuk mengenali satu kelompok pengalaman tertentu.

Orang tua saya tidak pernah mau tahu apa yang saya inginkan.

Apa yang muncul dalam benak Anda jika mendengar kalimat model begini? Orang tua sang pengucap adalah orang tua yang amat tidak pengertian terhadap anaknya, bukan? Pertanyannya, apakah benar selama seumur sang anak hidup dari kecil hingga dewasa orang tuanya tidak pernah pengertian sama sekali? Saya jamin tidak. Karena jika demikian adanya, mana mungkin sang anak bisa hidup sampai sekarang? Bukankah ketika ia masih bayi dan menangis karena lapar, orang tuanya pasti memberinya makan? Ah, bukankah ini suatu bentuk pengertian?

Universal Quantifiers menjadi berbahaya karena ia membatasi mindset kita dan mendorong kita untuk melakukan simplifikasi dalam menghadapi perilaku manusia yang unik. Ah, orang Jawa kan memang begitu, suka plin plan. Nah lo. Anda bisa merasakan bahayanya, kan?

Tidak ada hal yang mutlak di dunia ini (ups…saya baru saja melanggar Meta Model nih), karenanya kita bisa melakukan Meta Model dengan menanyakan:

Tidak pernah? Sekalipun?

Dengan nada yang tepat, kalimat seperti ini akan membuka cakrawala berpikir kita dan mempertanyakan kembali keyakinan yang kita buat.

Modal Operators. Pernah dengar modus operandi? Nah, model kalimat yang satu ini strukturnya mirip dengan arti dari modus operandi itu. Secara singkat, modal operator adalah cara kita beroperasi (operate), apakah dikarenakan keharusan (necessity) atau karena kemungkinan (possibility). Agak membingungkan?

Ini contohnya.
Saya harus belajar dengan giat agar lulus ujian.
Coba katakan kalimat di atas dalam hati, dan rasakan efeknya terhadap state Anda. Tidak menyenangkan, bukan? Keterpaksaan barangkali bisa mewakili satu dari sekian banyak efek yang bisa ditimbulkan oleh kalimat model ini. Selain kita merasa memiliki beban berat secara emosi akibat rasa ketidakberdayaan (hopelesness) yang muncul, kita tentu tidak akan menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan.

Untuk mengatasinya, kita bisa bertanya:
Apa yang akan terjadi jika kamu tidak belajar dengan giat?

Pertanyaan seperti ini akan mengajak pendengarnya untuk menggali deep structure yang menjadi alasan mereka melakukan sesuatu. Ditanyakan beberapa kali, secara perlahan-lahan seseorang biasanya akan menemukan bahwa mereka bisa memilih untuk tidak ”harus melakukan sesuatu”, melainkan ”ingin melakukan sesuatu”. Ya, alih-alih ”mau karena harus”, ”mau karena ingin” akan memunculkan kemanusiaan kita yang sebenarnya.

Itu baru yang keharusan. Modal operator yang lain adalah possibility.

Aku tuh paling nggak bisa deh bicara bahasa Inggris.

Mungkinkah sang pengucap akan bisa berbicara bahasa Inggris? Agak sulit saya kira, jika kalimat ini benar-benar ia yakini. Mengatasi model ini, kita bisa bertanya:

Apa persisnya yang menyebabkan kamu belum bisa berbicara bahasa Inggris sampai saat ini? Bagaimana persisnya kamu belajar berbicara bahasa Inggris selama ini? Apa yang akan terjadi jika kamu tiba-tiba bisa berbicara bahasa Inggris dengan fasih?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini lagi-lagi akan menggali alasan utama yang menghambat sang pengucap sekaligus mengajaknya untuk melihat peluang yang mungkin untuk ia lakukan.

Lost Performer. Dalam model kalimat ini, kita menghilangkan subyek yang memiliki otoritas terhadap kalimat tersebut sehingga seolah-olah menjadi kalimat yang tak terbantahkan.

Eh, anak laki-laki nggak boleh menangis.
Ah, nggak penting punya harta banyak, yang penting bahagia.

Apakah anak laki-laki memang tidak boleh menangis, padahal menangis adalah ekspresi alamiah? Apakah benar memiliki harta yang banyak tidak penting dan tidak bisa memunculkan kebahagiaan? Jelas jawabannya adalah tidak.

Guna mengembalikan kesadaran sang pengucap, kita bisa bertanya:
Siapa persisnya yang mengatakan anak laki-laki tidak boleh menangis?
Menurut siapa saja persisnya memiliki harta yang banyak itu tidak penting?

Deletion
Simple Deletion. Menggunakan simple deletion, kita mengucapkan suatu kalimat dengan mengabaikan informasi mengenai seseorang, suatu benda/hal, atau keterkaitan antara keduanya.

Contoh:
Saya merasa tidak nyaman.
Aku takut.
Aku tidak tahu.

Dengan mengatakan hal yang tidak lengkap seperti ini, sang pengucap jelas akan merasakan kebingungan tanpa tahu persis apa penyebabnya dan berakhir pada menggeneralisasi state tersebut kepada hal-hal lain yang tidak secara langsung berkaitan.

Menggunakan Meta Model, kita bisa bertanya dan meminta si pengucap untuk melengkapi bagian yang dihilangkan.

Merasa tidak nyaman terhadap apa/siapa?
Takut kepada apa/siapa?
Apa persisnya yang kamu tidak tahu?

Dengan mengatakan secara lebih lengkap, kita bisa semakin mudah mengenali penyebab munculnya suatu state untuk kemudian mencari solusi yang tepat guna mengatasinya.

Comparative Deletion. Di sini, kita membandingkan suatu hal dengan hal lain, tanpa menyebutkan secara jelas pembandingnya.

Contoh:
Wah, kamu hebat sekali.
Dia memang lebih pintar.

Mirip dengan simple deletion, tanpa menjelaskan secara detil pembandingnya, comparative deletion akan membuat kita menggeneralisasi state kepada hal-hal lain dan menjadikan pernyataan tersebut seolah tak terbantahkan.

Untuk mengatasinya, cukup kita tanyakan:
Hebat dibandingkan dengan?
Lebih pintar dibandingkan dengan?

Unspecified Noun or Verbs. Pada ’pelanggaran’ model ini, kita mengucapkan sebuah kalimat yang tidak secara spesifik menunjuk suatu obyek atau kata kerja tertentu.

Contoh:
Eh, teman-teman nggak suka lho dengan caramu.
Dia telah membuat saya marah.
Mereka tidak yang mau mendengarkan saya.

Anda bisa menangkap poinnya? Apa yang Anda rasakan jika mendengar kalimat pertama diucapkan kepada Anda? Seolah-olah semua teman yang Anda kenal tidak suka dengan semua cara Anda, bukan?

Menggunakan Meta Model, kita bisa membantu sang pengucap untuk mengurangi intensitas emosinya yang terlalu tinggi dengan bertanya:
Teman-teman yang mana persisnya yang tidak suka dengan cara saya? Cara saya yang mana persisnya yang tidak disukai?
Siapa persisnya yang telah membuatmu marah? Bagaimana persisnya dia membuatmu marah? Apa persisnya yang dia lakukan sehingga membuatmu marah?
Siapa persisnya yang tidak mau mendengarkanmu? Bagaiamana persisnya kamu menginginkan orang-orang untuk mendengarkanmu?

OK, model-model di atas adalah pola-pola Meta Model yang paling umum penggunaannya. Apakah hanya segini jumlahnya? Tentu tidak. Meta Model, seperti halnya teknik-teknik lain, masih terus berkembang. John Grinder dan Michael McMaster, misalnya, mengembangkan kembali Meta Model dalam format yang lebih praktis untuk digunakan dalam dunia bisnis dan manajemen.

Sebuah pertanyaan muncul? Bagaimana persisnya kita bisa menggunakan Meta Model secara efektif dan efisien dengan sekian banyaknya jenis model? Tidakkah kita akan dipandang sebagai seorang ”Monster Meta Model” jika menanyakan kesemuanya?

”Monster Meta Model” adalah istilah yang pernah dilontarkan oleh salah seorang peserta The NLP Adventure bulan Juli lalu. Tidak mengherankan, sebab jika Anda menggunakan Meta Model mentah-mentah dengan segala bentuknya, pastilah Anda akan menjelma menjadi seorang dengan rentetan pertanyaan yang tiada henti bak tentara sedang menembak dengan senapannya. Alhasil, alih-alih menghasilkan keajaiban, resistensi lah yang muncul. Padahal, jika kita bisa melakukan Meta Model dengan tepat, seringkali kita tidak perlu menawarkan solusi apapun sebab lawan bicara kita sudah bisa memunculkan solusi yang muncul dari pemikirannya sendiri.

Lalu, bagaimana persisnya kita melakukan Meta Model yang elegan seperti ini?

Masih ingat dengan ”Seminar 3 Menit NLP”? Awali semuanya dengan outcome, lanjutkan dengan pacing disertai kalibrasi untuk kemudian kita manfaatkan,dan terapkan teknik secara fleksibel untuk leading unconsciously.

Outcome
There is no change without an outcome. Ya, bukan perubahan yang efektif namanya jika tidak memiliki tujuan akhir yang jelas. Karena bahasa yang kita gunakan sehari-hari hakikatnya mengandung amat banyak ”pelanggaran” Meta Model, akan terlalu panjang jika kita tanyakan secara presisi setiap deletion, distortion, ataupun generalisasi yang muncul. Outcome adalah kuncinya. Tanyakan hanya pada bagian yang menurut Anda paling dekat mengantarkan Anda pada tujuan dari pembicaraan. Meminjam saran dari Bob Bodenhammer, mulailah dengan me-Meta Model distortion terlebih dahulu. Lanjutkan dengan generalization, dan akhiri dengan deletion. Mengapa demikian? Karena porsi terbesar ”pelanggaran” Meta Model dalam penggunaan bahasa kita terletak pada deletion. Memulai dengan deletion terlebih dahulu hanya akan mengantarkan kita untuk melakukan Meta Model seharian penuh tanpa akhir. Sisi lain, memulai dengan distortion akan membantu kita untuk memahami level berpikir pada tingkat yang lebih tinggi seperti keyakinan, nilai-nilai, dsb. Alhasil, kita akan lebih mudah ’menangkap’ deep structure dari kalimat yang dilontarkan.

Pacing and Calibration
Jika Anda masih ingat dengan bahasan kita tentang menjadi NLPers yang sensitif, Anda tentu sudah tidak asing lagi dengan dua istilah ini. Pacing dan kalibrasi akan membuat Anda memahami state dari lawan bicara sehingga Anda dapat melihat, mendengar, dan merasakan dari sudut pandangnya. Dengan demikian, secara unconscious Anda akan mampu menggunakan Meta Model dengan ”bahasa” lawan bicara Anda dan karenanya akan mengurangi resistensi yang mungkin muncul akibat pertanyaan berseri Anda. Caranya, gunakan prinsip 3P1L alias Pacing-Pacing-Pacing­-Leading. Lakukan pacing 3 kali baik secara verbal maupun non verbal, baru kemudian leading dengan pertanyaan yang telah Anda siapkan. Dengan bahasa yang lebih mudah, rumus ini bisa juga menjadi 4A alias Amini-Amini-Amini-Arahkan. Amini dalam hal ini adalah proses mengiyakan/membenarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicara sehingga ia merasa diterima dan dipahami.

Hubungan kami semakin lama semakin memburuk.
Oh, begitu ya. Jadi kamu merasa hubunganmu dengan istrimu semakin lama semakin memburuk. (Sembari melakukan pacing fisiologi)
Ya, begitulah.
Mmm…begitu ya rasanya. (Tetap lakukan pacing fisiologi sembari memperagakan kembali ekspresi yang ditunjukkan oleh lawan bicarai)
Ya, lelah rasanya.
Lelah ya. Bagaimana sih persisnya hubungan kalian selama ini?

Leading Unconsciously and Future Pacing
Jika pacing Anda sudah tepat, maka leading akan menjadi mudah. Melakukan Meta Model secara tepat dengan berbekal outcome yang jelas akan membuat pertanyaan-pertanyaan yang Anda ajukan menjadi pertanyaan ajaib. Ya, saya sendiri seringkali menemui pertanyaan saya mampu membuat lawan bicara saya menemukan insight tanpa perlu saya ’ceramahi’. Anda tentu pernah mendengar kisah guru-guru hebat yang zaman dulu yang mengajar dengan cara bertanya, bukan? Nah, kira-kira seperti itulah caranya. Setelah solusi itu muncul, perkuatlah ia dengan membenarkan dan mengajaknya untuk melakukan future pacing. Bagi Anda yang belum pernah mendengar, future pacing adalah proses membayangkan, mendengarkan, dan merasakan diri kita di masa depan melakukan perubahan yang kita ingin. Hebatnya, Anda tetap bisa menggunakan Meta Model untuk melakukan ini.

Tidak ada komentar: