Pendahuluan
Kata ‘meditasi’ mengandung banyak makna bagi para pemakai kata itu dan bagi para pendengarnya. Ada banyak tujuan orang bermeditasi; dengan demikian, ada banyak pula cara atau teknik
meditasi. Ada meditasi yang bertujuan untuk mencapai hal-hal yang
bersifat duniawi—seperti kesaktian, kesembuhan, melihat alam gaib, dan
sebagainya—dan ada pula meditasi yang mempunyai tujuan spiritual,
seperti mencapai atau menyatu dengan prinsip yang dianggap “tertinggi”,
seperti Tuhan, Nirvana, Moksha, Alam Semesta, dan sebaginya. Pada
umumnya, meditasi menyangkut pemusatan perhatian (konsentrasi)
pada suatu objek tertentu—seperti: nafas, visualisasi,
kata-kata/mantra, dan sebagainya— untuk waktu yang lama, dengan harapan
pada akhirnya mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, sifat umum dari kebanyakan jenis meditasi adalah suatu pencapaian, yang tentu saja dipahami akan tercapai di masa depan.
Ada satu jenis
meditasi yang berbeda dengan kebanyakan meditasi lain. Meditasi ini
diajarkan oleh Buddha Gotama, lebih dari 2500 tahun lalu, disebut
meditasi vipassana. Meditasi ini berangkat dari fakta
eksistensial yang diajarkan oleh Sang Buddha, yakni bahwa segala
sesuatu dalam kehidupan atau eksistensi ini tidak kekal, terus-menerus
berubah, dan tidak memuaskan; fakta ini menyebabkan penderitaan bagi
orang yang tidak memahaminya: ia melekat erat pada jasmani dan
batinnya, dan mencari kebahagiaan serta keabadian yang tidak pernah
diketahui dan dirasakannya. Sang Buddha juga mengajarkan, bahwa
penyebab atau sumber dari penderitaan eksistensial itu ialah oleh karena manusia tidak memahami aku/dirinya,
terutama pikiran dan keinginannya, yang selalu mencari kebahagiaan dan
keabadian (Anatta-lakkhana-sutta, Samyutta Nikaya, 22.59). Untuk
mencapai kebahagiaan dan keabadian itu manusia selalu terlibat dalam
konflik dalam dirinya sendiri maupun dengan orang lain di sekitarnya;
ia terlibat konflik antara apa yang ada sekarang dengan apa yang dicita-citakan di masa depan dalam pikirannya.
Sang Buddha
mengajarkan, bahwa dengan meditasi vipassana—yakni mengamati secara
pasif setiap gerak-gerik jasmani dan batin (pikiran, perasaan, emosi,
keinginan, harapan, keputusasaan, kesenangan, penderitaan, dan
sebagainya)—manusia dapat memperoleh pencerahan akan hakikat
sesungguhnya dari kehidupan/eksistensi yang tidak kekal dan tidak
memuaskan ini. Dengan tercapainya pencerahan itu, manusia terbebas dari kelekatan pada jasmani dan batinnya; dengan demikian, terbebas dari penderitaan (dukkha). Namun pembebasan dari penderitaan ini tidak mungkin tercapai dengan suatu usaha yang aktif dari aku/diri ini untuk mencapainya, oleh karena justru aku/diri inilah sumber atau penyebab dari penderitaannya—aku/diri tidak mungkin dapat melenyapkan aku/diri.
Justru sifat-sifat
khusus dari meditasi vipassana adalah kebalikan dari kehidupan
sehari-hari: pasif, berhenti, diam, lepas, berada pada saat kini.
Seperti kata Sang Buddha kepada Angulimala, si perampok dan pembunuh: “Aku sudah lama berhenti. Kamulah yang masih terus berlari. Berhentilah!”
Berada pada saat kini terus-menerus, yang di situ aku/diri dan pikiran
ini berhenti, itulah pintu menuju pembebasan, menurut Sang Buddha.
(Mulapariyaya-sutta, Majjhima Nikaya, 1 dan Bahiya-sutta, Udana, 1.10).
Namun, patut
disayangkan bahwa, dengan perjalanan waktu, dalam banyak praktik
meditasi vipassana yang diajarkan di dunia pada dewasa ini,
prinsip-prinsip meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha telah
bergeser: dari pelepasan menjadi pencapaian, dari kepasifan menjadi berupaya dan aktif berkonsentrasi.
Bagi banyak praktisi vipassana, mungkin pada awalnya pergeseran ini
tidak dirasakan; namun, bagi sementara praktisi vipassana lain, mereka
mengalami kesulitan untuk benar-benar memahami gerak-gerik jasmani dan
batin ini secara pasif apabila mereka diharuskan berusaha, apalagi
dengan berkonsentrasi, untuk mencapainya. Bagi para praktisi yang
tersebut belakangan inilah, sejak beberapa tahun terakhir, telah
dikembangkan Meditasi Mengenal Diri (MMD), yakni suatu jenis meditasi
vipassana yang diyakini telah dikembalikan kepada sifat-sifat khusus
meditasi vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Meditasi Mengenal Diri (MMD)
Pemahaman bahwa
praktik meditasi vipassana yang banyak diajarkan pada dewasa ini telah
bergeser jauh dari apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Sang Buddha
diilhami oleh praktik meditasi yang diajarkan J. Krishnamurti pada abad
ke-20. J. Krishnamurti mengritik kebanyakan teknik meditasi yang
semuanya mengutamakan konsentrasi, usaha dan teknik meditasi. Dalam hal ini termasuk pula banyak teknik vipassana Buddhis.
Bagi J.
Krishnamurti, teknik meditasi apa pun sama sekali tidak membebaskan,
tidak mentransformasikan batin manusia; alih-alih, malah membuat batin
lebih dalam terjerat dalam keterkondisian dan keterbatasannya. Teknik
konsentrasi apa pun hanya membawa praktisinya ke dalam suatu keadaan
pemusatan batin yang kuat, yang mungkin memberikan suatu rasa nikmat dan
bahagia yang intens, sehingga mudah disangka sebagai kebebasan, tetapi
sesungguhnya menjerat batin dalam keterkondisian dan ketidakbebasan
yang lebih halus.
Meditasi Mengenal
Diri (MMD) adalah versi meditasi vipassana yang selama beberapa tahun
terakhir telah dikembangkan dari vipassana yang diajarkan secara
“tradisional”. Dalam MMD, meditasi vipassana “tradisional” telah banyak
dimodifikasi berdasarkan ajaran J. Krishnamurti tentang sadar/eling secara pasif atau sadar/eling tanpa memilih, yang
sesungguhnya adalah kembali pada sifat-sifat praktik meditasi
vipassana murni ajaran Sang Buddha sendiri. Dengan demikian, ada
beberapa perbedaan penting antara meditasi vipassana versi MMD dan
meditasi vipassana “tradisional”:
(1) Tujuan meditasi vipassana
Bila seorang
praktisi vipassana “tradisional” ditanya, apakah tujuan meditasi
vipassana, biasanya jawabannya adalah: untuk melenyapkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha), sehingga tercapai pembebasan dari kelekatan pada jasmani dan batin (nama-rupa); pembebasan itu disebut ‘Nibbana/Nirvana’.
Dengan demikian, tujuan vipassana “tradisional” bersumber dari doktrin
agama Buddha. Tujuan meditasi vipassana ini dipahami akan tercapai
pada suatu saat di masa depan.
Apakah tujuan MMD? Tujuan MMD mengandung sebuah paradoks. Di satu sisi, tujuan MMD adalah berakhirnya aku/diri secara radikal, yang berarti berakhirnya penderitaan (dukkha) sepenuhnya—secara
teoretis, tentu saja hal ini akan tercapai di masa depan. Di sisi
lain, secara praksis aktual, tujuan MMD ini tidak dilihat sebagai
berada di masa depan, melainkan harus terjadi pada saat kini,
sebagai suatu transformasi batin yang hanya bisa didekati melalui saat
ini. Dalam praksis aktual, tujuan MMD adalah sadar/eling
sedalam-dalamnya dan terus-menerus terhadap gerak-gerik jasmani dan
batin ini pada saat munculnya, dari saat ke saat, sekarang dan di sini.
Dengan demikian,
secara teoretis, tujuan MMD tidak berbeda dengan tujuan meditasi
vipassana “tradisional”; namun secara praksis aktual, ternyata terdapat
perbedaan mendasar di antara kedua jenis meditasi vipassana itu.
Pengertian ‘tujuan’
selalu mengacu pada suatu keadaan yang ingin dicapai di masa depan;
tetapi, seperti dikatakan di atas, secara paradoksal tujuan MMD adalah
berada pada saat kini terus-menerus. Dengan demikian, di dalam MMD
tidak relevan lagi orang bicara tentang suatu ‘tujuan’ di masa depan,
di dalam MMD tidak ada ‘tujuan’.
Selain itu,
‘tujuan’ MMD adalah identik/sama dengan ‘metode’-nya, yakni berada pada
saat kini terus-menerus, yang adalah ‘non-metode’ (lihat bawah).
Paradoks tujuan MMD
ini tidak terdapat dalam pengajaran vipassana “tradisional” kepada
para praktisinya. Tujuan vipassana “tradisional”, yakni nibbana,
diletakkan di masa depan, bahkan sering kali ditampilkan bahwa tujuan
itu hanya bisa dicapai di masa depan yang jauh, tidak dalam kehidupan
sekarang.
Paradoks dari
sebuah tujuan/keadaan transendental sebagaimana diuraikan di atas juga
terlihat dalam kitab-kitab Mahaprajnaparamita dari Buddhisme Mahayana,
seperti Sutra Intan, Sutra Hati, dan sebagainya.
Sekali lagi, tujuan
MMD adalah berada pada saat kini terus-menerus; di dalam MMD orang
tidak memandang ke masa depan. Bila orang bisa berada dalam keadaan itu
terus-menerus, di situlah terdapat kemungkinan—itulah pintu—menuju berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia; inilah yang dicari oleh umat manusia sepanjang zaman.
Apa dan bagaimana
berakhirnya konflik dan penderitaan eksistensial manusia itu tidak
dibahas dan tidak dikonseptualisasikan dalam praktik MMD, karena hal
itu akan merupakan diskursus pikiran lagi, yang mau tidak mau akan
menjadi satu lagi doktrin di antara sekian banyak doktrin spiritual yang
ada, dan hanya merintangi orang untuk berada pada saat kini
terus-menerus, melihat apa adanya (yathabhutam nyanadassanam) tanpa dicampuri oleh konsep-konsep ciptaan pikiran.
Tujuan MMD bukan hanya melenyapkan keadaan-keadaan batin yang negatif, seperti lobha, dosa, dan moha seperti di dalam vipassana “tradisional”, tetapi juga memahami keadaan-keadaan batin yang positif, seperti cinta (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
Ketika semua keadaan batin yang negatif maupun positif itu
dipahami/disadari, maka pemeditasi tidak akan menolak keadaan batin
yang negatif dan/atau melekat pada keadaan batin yang positif.
(2) Teknik/metode meditasi vipassana
Adanya perbedaan
dalam tujuan meditasi di antara meditasi vipassana “tradisional” dan
MMD menyebabkan perbedaan yang mendasar dalam praktik di antara kedua
versi vipassana itu. Dalam kebanyakan meditasi vipassana “tradisional”
diajarkan berbagai teknik yang harus dijalankan oleh pemeditasi kalau
ia ingin mencapai hasil yang diinginkan. Misalnya, dalam meditasi
vipassana versi Mahasi Sayadaw, ditekankan teknik-teknik berikut:
* berkonsentrasi untuk waktu lama pada sebuah “objek utama”;
* mencatat/memberi label segala sesuatu yang teramati dalam meditasi (setidak-tidaknya pada “tahap awal” praktik);
* melakukan meditasi duduk dan meditasi jalan berganti-ganti dalam sesi meditasi formal;
* memperlambat sedapat mungkin semua gerakan tubuh agar dapat diamati secara kuat.
Semua itu dilakukan, dan didasari usaha (viriya) yang maksimal, dengan tujuan agar konsentrasi berkembang secara maksimal pula, sehingga tercapai berbagai pencerahan (nyana) yang teorinya telah diketahui lebih dahulu, dan akhirnya tercapai pembebasan (nibbana).Di lain pihak, di dalam MMD:
* tidak ada konsentrasi pada ‘objek utama’ apa pun—karena sadar/eling yang berkembang secara pasif akan mengembangkan pula perhatian (sati) yang kuat, tetapi bukan konsentrasi. Alih-alih berkonsentrasi secara sempit pada satu objek, perhatian dibiarkan terbuka seluas-luasnya secara alamiah meliputi seluruh indera, sehingga dapat menyadari rangsangan yang masuk melalui seluruh indera, termasuk batin (pintu masuknya ingatan dari masa lampau);
* segala fenomena yang muncul dalam badan dan batin sekadar disadari secara pasif, tanpa usaha mencatat/memberi label, yang tiada lain adalah gerak pikiran lagi;
* keadaan batin sadar/eling itu bisa dikembangkan dalam keadaan atau kegiatan apa pun: duduk, berdiri, berjalan, berbaring, tanpa membedakan dan memisahkan antara kegiatan meditasi formal dengan kegiatan sehari-hari—dengan demikian keadaan batin meditatif itu berkembang secara alamiah menjadi keadaan batin sepanjang waktu ketika pikiran/aku tidak dibutuhkan;
* gerakan tubuh tidak perlu diperlambat secara sengaja dan artifisial—apabila perhatian menjadi kuat, maka gerakan tubuh akan melambat dengan sendirinya, sekalipun melambatnya gerakan tubuh itu tidak dikembangkan dengan sengaja sebagai suatu teknik meditasi.
Secara singkat, di dalam MMD tidak ada teknik meditasi apa pun, termasuk tidak ada konsentrasi terus-menerus pada satu objek. Selain itu, di dalam MMD tidak ada usaha (viriya) sama sekali—untuk berada pada saat kini tidak dibutuhkan usaha apa pun.
Pengerahan usaha
justru akan menghalangi pikiran dan aku/diri untuk berhenti secara
alamiah, menghalangi pembebasan. Ini terlihat jelas dalam pengalaman
Bhikkhu Ananda (saudara sepupu Sang Buddha) menjelang Konsili I Sangha,
tidak lama setelah Sang Buddha wafat. Konsili itu hanya boleh dihadiri
oleh para arahat, sehingga beliau—yang pada waktu itu masih belum
bebas sepenuhnya—berusaha keras untuk mencapai kearahatan dalam waktu
semalam. Ternyata justru usaha keras itu menghalangi tercapainya
pembebasan. Justru pada saat beliau menghentikan sama sekali usahanya,
ketika malam menjelang fajar, muncullah pembebasan terakhir dalam
batinnya. (Vinaya Pitaka, Culavagga, Khandaka, 11)
Karena tidak ada teknik meditasi apa pun, dan tidak ada usaha untuk mencapai apa pun, maka pemeditasi bebas dari beban meditasi,
sehingga sadar/eling pada saat kini, terus-menerus, tanpa mengharapkan
apa pun di masa depan, merupakan keadaan diam, istirahat, dan berhenti
secara sempurna.
(3) Rujukan dari kitab suci
Hampir semua teknik vipassana “tradisional” menggunakan Mahasatipatthana-sutta (Digha
Nikaya, 22) yang terkenal sebagai rujukannya. Sutta itu penuh dengan
doktrin agama Buddha, sehingga pemeditasi sukar membedakan mana yang
doktrin dan mana yang pengalaman pribadi dalam meditasi pada waktu ia
menerapkannya dalam praktik. Kontemplasi terhadap keempat kelompok dhamma
(fenomena jasmani dan batin) yang diajarkan dalam
Mahasatipatthana-sutta itu tidak lebih daripada kegiatan analisis
intelektual semata-mata dan bukan keadaan sadar/eling aktual yang
secara pasif menyadari fenomena yang muncul pada saat sekarang dan di
sini. Mendiang Ajahn Buddhadasa Mahathera menyebut
Mahasatipatthana-sutta sebagai tidak lebih dari sebuah “daftar
berkepanjangan dari objek-objek meditasi Buddhis”—alih-alih menggunakan
sutta itu sebagai rujukan untuk mengajarkan meditasi vipassana menuju
pembebasan/nibbana, beliau menggunakan Anapanasati-sutta (Majjhima Nikaya, 118).
Di lain pihak, MMD
menggunakan Bahiya-sutta, yang di situ Sang Buddha memberikan tuntunan
vipassana yang langsung dan singkat kepada Bahiya (Bahiya-sutta,
Udana 1.10). Bahiya adalah seorang petapa, bukan bhikkhu siswa Sang
Buddha, dan selama hidupnya tidak pernah mendengar doktrin Buddhisme
sama sekali. Namun Sang Buddha tidak mengajarkan “doktrin Buddhisme”
apa pun kepada Bahiya; alih-alih Sang Buddha mengajarkan vipassana
secara murni tanpa dilandasi doktrin apa pun; dan pada saat itu juga,
ketika khotbah Sang Buddha selesai, Bahiya mencapai pencerahan
terakhir. Tuntunan vipassana yang sama diajarkan pula oleh Sang Buddha
kepada Malunkuyaputta, seorang bhikkhu tua; dan akhirnya Bhikkhu
Malunkyaputta pun mencapai pencerahan terakhir setelah berlatih
beberapa lama (Malunkyaputta-sutta, Samyutta Nikaya, 35.95).
Oleh karena
tuntunan vipassana Sang Buddha kepada Bahiya bersifat bebas dari
doktrin Buddhisme, maka tuntunan itu cocok untuk digunakan sebagai
rujukan mengajarkan MMD kepada para peminat MMD yang non-Buddhis maupun
kepada umat Buddha sendiri.
(4) Ritualisme
Oleh karena
kebanyakan teknik vipassana “tradisional” diajarkan dalam konteks agama
Buddha dan diselenggarakan di sebuah vihara, maka mau tidak mau dalam
praktiknya masih terdapat ritualisme. Suatu kekecualian dalam hal ini
adalah di dalam retret vipassana versi S.N. Goenka, yang di lokasinya
tidak terdapat simbol-simbol keagamaan sedikit pun, sehingga pemeditasi
tidak terdorong melakukan ritual apa pun dalam praktik retretnya.
Kelekatan pada ritualisme itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu
belenggu yang harus patah sebelum orang mencapai pembebasan.
Di dalam MMD,
sekalipun retret dilakukan di dalam Dharmasala (Ruang Kebaktian) sebuah
vihara, selama retret berlangsung peserta sangat dianjurkan untuk
tidak melakukan ritual agama Buddha apa pun, seperti bersujud (namaskara) kepada arca Buddha (buddharupam) yang ada di sana, membaca paritta, dan sebagainya.
Sedangkan bagi
peserta retret MMD yang beragama Islam, mereka tetap dibenarkan
melakukan ibadah sholat yang wajib menurut ajaran agamanya.